BERITA - Sebentar lagi akhir dari Tahun
2017. Ada peristiwa yang menyeret Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Partai
Golongan Karya (Golkar) Setya Novanto lengser dari dua jabatan tersebut.
Peristiwa ini menjadi puncak kegaduhan di ranah politik Indonesia. Berbagai
polemik dan tanggapan terjadi. Puncak dari kegaduhan kasus dugaan korupsi kartu
tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) memaksa Ketua DPR Setya Novanto harus berakhir mengerikan.
Dikatakan mengerikan, karena upaya menarik ulur waktu pemeriksaan oleh petugas
KPK itu pun diakhiri dengan kecelakaan mobil yang menimpa Setya Novanto akibat
menabrak tiang listrik.
Padahal Setya Novanto yang
sebelumnya tergolong lihai berkelit dengan seabrak alasan kesehatan, akhirnya
resmi menghuni sel di rumah tahanan (Rutan) KPK di Kompleks Gedung Merah,
Kawasan Kuningan Jakarta Selatan pada Sabtu (19/11/2017). Derita Novanto pun
belum berakhir meski sudah ditahan KPK atas kasus e-KTP. Lagi-lagi Novanto
harus menghadapi tuntutan para kadernya di DPR dan DPP Partai Golkar. Meskin
dalam kondisi demikian, Setya Novanto masih dianggap kuat dalam berganining
posisi sebagai pimpinan di DPR dan Ketua Umum Golkar. Dari balik jeruji besi
KPK, pria yang akrab disapa Setnov itu mengeluarkan jurus sakti. Pelor itu
bernama "Surat Penunjukan" kepada Fraksi Golkar dan pimpinan DPR pada
awal Desember 2017. Rupanya Setnov mencoba menggunakan jurus sakti guna
mengamankan kursi Ketua DPR. Dua peluru sakti atas nama surat penunjukan, salah
satunya berisi penunjukan Novanto terhadap sebagai Ketua DPR kepada Aziz
Syamsudin agar menggantikannya sebagai Ketua DPR pasa dirinya sedang menghadapi
kasus hukum oleh e-KTP.
Lagi-lagi sangat disayangkan.
Strategi tersebut tak berhasil. Hasil rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak
sepakat jika Aziz ditunjuk menjadi pengganti Setya Novanto. Rapat Bamus lalu
menyetujui persetujuan pengunduran diri Novanto. Hasil ini pun dibacakan lewat
paripurna. Diketahui, dalam rapat Bamus itu disepakati Wakil Ketua DPR bidang
Polkam Fadli Zon sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR menggantikan Setya
Novanto. Namun, perlu dicatat, Plt tidak berlaku hingga 2019, tapi hanya
sekedar mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Setya Novanto.
Sekarang giliran jabatan Ketua
Umum DPP Partai Golkar yang disandang Novanto pun terpaksa terlepas dari mantan
Ketua Fraksi Golkar DPR RI itu. Proses praperadilan yang gugur karena
persidangan materi perkara dimulai dengan pembacaan dakwaan terhadap Novanto menjadi
pemicunya. Mantan calon Ketum Golkar di Munaslub Bali 2016, Airlangga Hartarto
pun ketiban rejeki. Dengan langkah seribu, Airlangga melakukan manuver politik
pengalihan kepemimpinan Golkar dari Setnov ke dirinya. Mengawali negosisasi
dengan bersama 31 DPD I Golkar menemui Jokowi di Istana Presiden Bogor. Dan
gayungpun bersambut. Jalan menuju kursi Ketua Umum Partai Golkar kian mulus.
Airlangga kembali mendapat dukungan 34 DPD I serta DPD II Golkar serta sesepu
partai Golkar, untuk menggelar Rapimnas dan Munaslub di Jakarta Convention
Center (JCC) Jakarta, 18-20 Desember 2017.
Presiden Jokowi-Wapres Jusuf
Kalla, Presiden RI ketiga Habibie, Presiden kelima, Megawati, mantan wapres Try
Sutrisno serta negarawan lain hadir saat pembukaan Munaslub. Pada 20 Desember
Airlangga Hartarto resmi dikukuhkan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar
periode 2017-2019 menggantikan Setya Novanto. Terpilihnya Airlangga Hartarto
disebut mendapat restu dari istana? Hal ini bisa mungkin, karena segala
keputusan masih erat kaitannya dengan kedudukan Airlangga Hartarto sebagai
Menteri Perindustrian. Pemerintahan Jokowi-JK masih membutuhkan tenaga dan
konsep pembangunan dunia industri di negeri ini. Faktor keberuntungan Airlangga
juga bisa jadi muncul dari opini publik utamanya suara dukungan 34 DPD tingkat
I terhadap mantan anggota DPR tersebut.
Airlangga bisa dibilang pawang
macan tidur. Mengapa? Karena sejumlah kader Golkar sekelas Bambang Soesatyo
(Bamsoet), Bu De Titiek Soeharto, Aziz Syamsuddin, dan beberapa kader senior
yang sebelumnya garang, bersikukuh maju sebagai caketum DPP Golkar tiba-tiba
melunak dan mempasrahkan niatnya dengan berbagai pertimbaganan "demi
keutuhan" Partai Golkar dan menyongsong tahun politik 2018 (Pilkada
Serentak II) dan 2019 (Pileg dan Pilpres). Jelas, situasi itu akan
memperpanjang nafas masalah internal Partai Gokar. Kini, salah satu pekerjaan
rumah bagi Airlangga sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar adalah
"Revitalisasi pengurus DPP" yang dinilai sebagai solusi Golkar untuk
menghadapi agenda tahun politik. Target Airlangga menghasilkan 110 kursi DPR
Pusat dari Partai Golkar di Pileg 2019 memang menggiurkan.
Namun tidak muda bagi Golkar
untuk meraih bahkan memenangkan Pemilu Legislatif 2019, sementara luka yang
digali sejumlah anggota DPR dan Pejabat Kepala Daerah dari kader parpol
tersebut membuat para masyarakat pemilihnya bakal enggan memberikan suaranya, dengan
salah satu alasan adalah “KORUPSI”.