Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

Selasa, 17 Maret 2009

KRISIS ENERGY = KRISIS INTELEKTUAL

Oleh. DR. Poempida Hidayatulloh

Ketergantungan manusia terhadap energi semakin signifikan sejalan dengan kemajuan peradaban dunia. Kemudahan-kemudahan yang didapat oleh manusia dengan tersedianya berbagai macam bentuk energi dalam kehidupan membuat setiap insan menjadi semakin enggan untuk meninggalkan peradaban tersebut. Jika dingin, tinggal pakai pemanas. Jika panas tinggal pakai AC. Mengawetkan makanan tinggal pakai lemari es. Pergi ke mana-mana tinggal pakai kendaraan. Ingin bicara dengan teman tinggal pakai telepon genggam. Akan sangat banyak lagi contoh-contoh kemudahan yang ada dengan ketersediaan energi.
Padahal, di jaman batu, energi panas hanya dipakai untuk membakar atau memasak makanan dan menghangatkan tubuh dikala musim dingin. Energi lain yang tersedia di jaman itu hanyalah energi dari tenaga hewan yang dimanfaatkan kemudian untuk angkutan. Dengan akalnya evolusi manusia kemudian membuahkan berbagai penemuan yang mempermudah eksploitasi berbagai bentuk energi untuk kehidupan.
Sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah populasi dunia, kebutuhan energi pun semakin bertambah. Mengakibatkan harga dasar atau biaya untuk memproduksi energi semakin meningkat. Jika demikian terus menerus dibiarkan, maka tidaklah heran jika suatu ketika terjadi suatu kelangkaan energi yang diakibatkan oleh besarnya kebutuhan (demand) energi dan sedikitnya ketersediaan (supply) energi.
Kini, di abad ke 21, manusia dihadapi oleh suatu krisis energi, yang diakibatkan ketergantungan yang berlebihan oleh pemakaian bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Padahal kita semua tahu bahwa bahan bakar fosil suatu saat akan habis. Ditambah lagi dengan sistem perdagangan komoditas yang dilandasi politik ekonomi yang kapitalistik, membuat komoditas bahan bakar fosil menjadi ajang spekulasi para pedagang komoditas. Hal ini mengakibatkan rentannya stabilitas harga komoditas tersebut terhadap permainan spekulan.
Lebih ironis lagi, dengan sistem politik ekonomi di atas, penemuan-penemuan baru untuk energi alernatif menjadi kurang menarik secara komersial, sehingga upaya-upaya pengembangan energi alternatif terlimitasi di tahap penelitian maupun prototipe saja. Mengapa demikian? Karena teknologi baru untuk menciptakan energi alternatif tersebut, pada umumnya jelas-jelas akan sulit berkompetisi dengan leluasa secara komersial dibandingkan dengan energi yang sudah memasyarakat dan terdistribusikan dengan baik.
Di dalam keadaan tersebut, diperlukan suatu kehendak politik (political will) yang cukup signifikan untuk dapat munculnya dan tersosialisasinya suatu pemakaian bentuk energi baru.

Program Konversi Minyak Tanah ke Gas

Contoh yang hangat belakangan ini di Indonesia, adalah 'Program Konversi Minyak Tanah ke Gas'. Dengan dorongan politik yang cukup, walaupun tersendat program yang baik tersebut dapat berjalan walaupun agak tersendat karena beberapa hal.
Pemakaian gas jauh lebih baik dari pemakaian minyak tanah. Pemerintah bisa hanya berkonsentrasi dalam pengurangan biaya subsidi minyak tanah yang lebih besar. Namun demikian, pemakaian kompor gas untuk keperluan rumah tangga jauh lebih efisien dan mudah pakai. Panas yang didapat dari pembakaran gas pun lebih optimal. Juga hasil pembakaran gas lebih sempurna dari pembakaran minyak tanah, sehingga mengurangi polusi karbon yang berbahaya.
Lalu, jika memang program sebaik itu banyak bermanfaat untuk masyarakat, mengapa dapat terkendala? Padahal pemerintah sudah sangat mendukung sampai 100 persen.
Hal ini disebabkan oleh terganggunya para pemain komersial minyak tanah yang selama puluhan tahun telah menikmati bisnis minyak tanah bersubsidi. Bagaimana pun caranya mereka tentunya akan melakukan intervensi agar langkah pemerintah untuk program konversi tersebut dapat terhenti. Orang-orang yang cenderung mengambil keuntungan sesaat ini memang zalim, karena mereka tidak berpikir untuk rakyat banyak dan masa depan bangsa. Sudah seyogyanya orang-orang seperti ini mendapatkan penalti secara yuridis.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Ditengah-tengah besarnya permintaan energi listrik seperti sekarang ini sempat juga terpikirkan oleh sebagian insan di Indonesia untuk membanguan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pemikiran tersebut memang sangat masuk akal, karena didorong oleh kenyataan bahwa supply energi listrik terutama di Jawa dan Sumatera sudah berada di titik nadir.
PLTN dapat menghasilkan supply listrik yang signifikan, yang dapat menstimulan pertumbuhan industri yang ujungnya bermuara ke pertumbuhan ekonomi yang lebih mapan.
Untuk masalah PLTN ini, Bangsa Indonesia dihadapkan oleh dua problematika. Yang pertama, berkaitan dengan politik luar negeri negara-negara maju. Yang kedua, protes dari orang-orang yang mengatasnamakan pencinta lingkungan.
Politik luar negeri negara-negara maju, sangat sensitif dengan pemanfaatan Nuklir sebagai energi, dan selalu membawa isu keamanan dunia. Mereka sangat takut jika bangsa sebesar Bangsa Indonesia memanfaatkan teknologi tersebut tidak hanya untuk supply energi, tetap juga untuk menciptakan senjata nuklir. Yang mereka lupa adalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Bahkan belakangan ini Bangsa Indonesia telah menjadi Bangsa yang terbesar yang telah berhasil mengimplementasikan demokrasi tanpa melewati suatu perhelatan konflik yang berkepanjangan. Selain dari pada itu juga konflik-konflik yang signifikan telah berhasil ditanggulangi dalam bentuk perdamaian yang stabil. Jadi tidak beralasan jika negara-negara maju tersebut menjadi ragu dengan komitmen Bangsa Indonesia dalam hal perdamaian.
Protes para pencinta lingkungan berkutat di putaran isu mengenai pencemaran radiasi nuklir akibat dari kebocoran reaktor dan pembuangan sampah nuklir. Untuk isu yang pertama itu tidak relevan. Karena selama beberapa dekade terakhir kebocoran reaktor nuklir hanya terjadi di Chernobyl, Rusia. Jadi sebenarnya, teknologi PLTN sudah stabil.
Banyak juga instalasi yang cukup rawan terhadap berbagai ledakan di Indonesia. Bangsa Indonesia pun mampu me-manage instalasi-instalasi tersebut dengan baik. Penulis mempunyai keyakinan bahwa sumber daya manusia Indonesia pun mampu me-manage sebuah Instalasi PLTN dengan baik. Dalam konteks ini tentunya dalam hal pengoperasian dan pengelolaan sampah nuklir yang menjadi pemrotes lingkungan tadi.
Jika ditarik benang merah mungkin saja ada titik temu di antara kepentingan dua problematika tadi. Alasannya, tentunya mereka ini tidak ingin Bangsa Indonesia bisa maju secara ekonomi sehingga menjadi bangsa yang besar dan mandiri.

Energi Alternatif

Banyak sudah tersedia berbagai teknologi alternatif untuk membangkitkan energi, mulai dari tenaga surya, angin bahkan sampai Panas Bumi (Geotermal). Hanya saja memang biaya investasi memang relatif lebih tinggi untuk per-unit listrik yang dihasilkan. Sehingga acap kali, PLN tidak bersedia membeli dengan harga yang diinginkan oleh investor. Walaupun perkembangan belakangan ini, PLN sudah menaikkan tarif pembelian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Namun demikian perhatian terhadap energi listrik dari sinar surya maupun angin perlu juga mendapat perhatian. Mengapa demikian? energi dari keduanya boleh dikatakan mahal, namun sebagai energi yang terbarukan, yang senantiasa terus menerus dapat dipakai, dapat menjadi suatu landasan politik energi Bangsa Indonesia ke depan. Selain daripada pembangunan instalasinya yang lebih cepat untuk mengejar percepatan pertumbuhan demand energi, kedua teknologi tersebut sangatlah ramah lingkungan, hampir dipastikan tidak menimbulkan polusi yang signifikan.
Dengan demikian, sudah seyogyanya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada pemanfaatan kedua teknologi tersebut.
Krisis Intelektual
Jika menyimak lebih lanjut tentang keberadaan krisis energi yang digembar-gemborkan, tentunya tidaklah beralasan pengangkatan isu tersebut. Karena, dengan tersedianya berbagai sumber daya alam dan teknologi yang bervariasi, sudah seyogyanya para pengambil keputusan menerapkan strategi yang mapan terutama dalam penyusunan peraturan yang terkait dengan pemberdayaan energi. Di sinilah kemampuan intelektual mereka dalam menganalisi, merencanakan dan mengimplementasikan suatu kebijakan ditantang.
Kegagalan dalam melaksanakan hal tersebut dapat dipastikan sebagai kegagalan intelektual. Dengan demikian, kesimpulannya, jika terjadi krisis energi, sebetulnya merupakan suatu krisis intelektual belaka