Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

Minggu, 07 Januari 2018

Rawan Kepentingan Pribadi Dalam Pilkada Serentak 2018

Perhelatan tersebut akan diselenggarakan di 171 daerah provinsi, kota maupun kabupaten. Pilkada serentak merupakan wadah untuk meningkatkan demokrasi lokal di Indonesia yang memiliki tujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif. Hasil survei dari beberapa lembaga yang mendata tingkat kepuasan dalam melaksanakan Pilkada Serentak tahun lalu menunjukan, lebih dari separuh responden menyatakan puas dengan hasil pilkada serentak. Namun, masih ada responden yang menyatakan sebaliknya. Ketidakpuasaan masyarakat terjadi karena masih adanya permasalahan penyalahgunaaan kekuasaan oleh pasangan petahana. Lebih jauh, satu dari dua responden menyatakan mekanisme pilkada telah melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan.
Persiapan Pilkada serentak 2018 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik. Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses Pilkada. Pertimbangan rasional tampaknya menjadi pilihan utama responden untuk Pilkada saat ini. Meskipun masih ada responden yang menjadikan kesamaan agama sebagai faktor untuk memilih kepala daerah, proporsi lebih besar menjadikan faktor-faktor lebih rasional sebagai pertimbangan utama memilih. Dimana ada gula disana pasti ada semut, merupakan pribahasa yang bisa dijadikan ungkapan dalam Pilkada serentak yang akan diselenggarakan 2018. Hal tersebut cenderung tepat dalam memberikan dinamisnya suasana Pilkada karena kemenangan suara merupakan tujuan akhir sehingga sulit untuk melepaskan anggapan bahwa setiap pihak akan menggunakan berbagai cara untuk bertarung. Cara-cara tersebut meliputi provokasi, pengangkatan isu SARA dan potensi munculnya ujaran kebencian. Seperti  yang dipaparkan oleh Bawaslu saat merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018, Sebanyak tiga provinsi dinilai memiliki kerawanan paling tinggi. Tiga provinsi yang dikategorikan tinggi nilai kerawanannya ialah Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Provinsi yang masuk kategori kerawanan tinggi memiliki nilai kerawanan atau indeks antara 3,00 sampai 5,00. Papua memiliki berada di angka 3,41; Maluku 3,25, dan Kalimantan Barat 3,04. Sementara itu, kerawanan tinggi pada Pilgub Maluku ditentukan dari dimensi penyelenggara, terutama berkaitan dengan integritas dan profesionalitas penyelenggara. Adapun, penyebab kerawanan tinggi pada Pilgub pada dimensi kontestasi, di antaranya karena maraknya politik identitas, penggunaan isu SARA, dan politisasi birokrasi.
Politik uang ditengarai masih akan mendominasi pilkada kali ini. Masa tenang adalah masa yang paling rawan dengan politik uang. Penilaian publik ini sejalan dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2018 yang dikeluarkan Bawaslu di mana kerawanan politik uang menempati posisi tertinggi. Kerawanan politik uang terindikasi pada pemberian uang, barang, dan jasa secara langsung kepada pemilih. Sementara pada wilayah dengan tipologi perdesaan dan tertinggal, suap diberikan kepada penyelenggara Pemilu. Modus politik uang pun kini kian beragam. Selain itu kerawanan jual beli suara dengan modus melibatkan pedagang atau pemilik toko untuk membagikan sembako kepada masyarakat yang telah mendapatkan kupon dari tim sukses menjadi ancaman yang berbahaya. Jual beli suara juga terjadi dengan mengerahkan saksi bayangan melalui mobilisasi tim relawan di setiap TPS.
Pilkada serentak yang segera digelar akan kembali menguji kemampuan publik memilih kepala daerah secara demokratis. Salah satunya terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas kepala daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan agama atau etnis tertentu. Hal yang patut dicermati dari para calon kepala daerah adalah publik berharap pelaksanaan pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah terpilih nantinya terutama diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan (21,9%), mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah (18,8%), memperbaiki infrastruktur (15,6%), visi misi pasangan calon ditepati (12%), dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi (11,9%). Keinginan dari publik mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional primordial, atau memperteguh pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya.
Ada beberapa cara yang harus dimengerti oleh masyarakat seperti mengetahui gejala yang timbul di sekitar lingkungan, tidak terbawa arus isu SARA, dan menghindari konflik antar masyarakat. Kita harus saling menghormati dan saling menghargai. Pilihan orang dan pilihan kita mungkin saja berbeda tapi jangan perbedaan tersebut dijadikan alasan untuk saling membenci dan saling menghujat. Lembar Anak Muda

Kamis, 28 Desember 2017

Secuil Flashback Peristiwa Politik Partai Golkar di Tahun 2017




BERITA - Sebentar lagi akhir dari Tahun 2017. Ada peristiwa yang menyeret Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya (Golkar) Setya Novanto lengser dari dua jabatan tersebut. Peristiwa ini menjadi puncak kegaduhan di ranah politik Indonesia. Berbagai polemik dan tanggapan terjadi. Puncak dari kegaduhan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) memaksa  Ketua DPR Setya Novanto harus berakhir mengerikan. Dikatakan mengerikan, karena upaya menarik ulur waktu pemeriksaan oleh petugas KPK itu pun diakhiri dengan kecelakaan mobil yang menimpa Setya Novanto akibat menabrak tiang listrik.
Padahal Setya Novanto yang sebelumnya tergolong lihai berkelit dengan seabrak alasan kesehatan, akhirnya resmi menghuni sel di rumah tahanan (Rutan) KPK di Kompleks Gedung Merah, Kawasan Kuningan Jakarta Selatan pada Sabtu (19/11/2017). Derita Novanto pun belum berakhir meski sudah ditahan KPK atas kasus e-KTP. Lagi-lagi Novanto harus menghadapi tuntutan para kadernya di DPR dan DPP Partai Golkar. Meskin dalam kondisi demikian, Setya Novanto masih dianggap kuat dalam berganining posisi sebagai pimpinan di DPR dan Ketua Umum Golkar. Dari balik jeruji besi KPK, pria yang akrab disapa Setnov itu mengeluarkan jurus sakti. Pelor itu bernama "Surat Penunjukan" kepada Fraksi Golkar dan pimpinan DPR pada awal Desember 2017. Rupanya Setnov mencoba menggunakan jurus sakti guna mengamankan kursi Ketua DPR. Dua peluru sakti atas nama surat penunjukan, salah satunya berisi penunjukan Novanto terhadap sebagai Ketua DPR kepada Aziz Syamsudin agar menggantikannya sebagai Ketua DPR pasa dirinya sedang menghadapi kasus hukum oleh e-KTP.
Lagi-lagi sangat disayangkan. Strategi tersebut tak berhasil. Hasil rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak sepakat jika Aziz ditunjuk menjadi pengganti Setya Novanto. Rapat Bamus lalu menyetujui persetujuan pengunduran diri Novanto. Hasil ini pun dibacakan lewat paripurna. Diketahui, dalam rapat Bamus itu disepakati Wakil Ketua DPR bidang Polkam Fadli Zon sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR menggantikan Setya Novanto. Namun, perlu dicatat, Plt tidak berlaku hingga 2019, tapi hanya sekedar mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Setya Novanto.
Sekarang giliran jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang disandang Novanto pun terpaksa terlepas dari mantan Ketua Fraksi Golkar DPR RI itu. Proses praperadilan yang gugur karena persidangan materi perkara dimulai dengan pembacaan dakwaan terhadap Novanto menjadi pemicunya. Mantan calon Ketum Golkar di Munaslub Bali 2016, Airlangga Hartarto pun ketiban rejeki. Dengan langkah seribu, Airlangga melakukan manuver politik pengalihan kepemimpinan Golkar dari Setnov ke dirinya. Mengawali negosisasi dengan bersama 31 DPD I Golkar menemui Jokowi di Istana Presiden Bogor. Dan gayungpun bersambut. Jalan menuju kursi Ketua Umum Partai Golkar kian mulus. Airlangga kembali mendapat dukungan 34 DPD I serta DPD II Golkar serta sesepu partai Golkar, untuk menggelar Rapimnas dan Munaslub di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, 18-20 Desember 2017.
Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla, Presiden RI ketiga Habibie, Presiden kelima, Megawati, mantan wapres Try Sutrisno serta negarawan lain hadir saat pembukaan Munaslub. Pada 20 Desember Airlangga Hartarto resmi dikukuhkan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2017-2019 menggantikan Setya Novanto. Terpilihnya Airlangga Hartarto disebut mendapat restu dari istana? Hal ini bisa mungkin, karena segala keputusan masih erat kaitannya dengan kedudukan Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Pemerintahan Jokowi-JK masih membutuhkan tenaga dan konsep pembangunan dunia industri di negeri ini. Faktor keberuntungan Airlangga juga bisa jadi muncul dari opini publik utamanya suara dukungan 34 DPD tingkat I terhadap mantan anggota DPR tersebut.
Airlangga bisa dibilang pawang macan tidur. Mengapa? Karena sejumlah kader Golkar sekelas Bambang Soesatyo (Bamsoet), Bu De Titiek Soeharto, Aziz Syamsuddin, dan beberapa kader senior yang sebelumnya garang, bersikukuh maju sebagai caketum DPP Golkar tiba-tiba melunak dan mempasrahkan niatnya dengan berbagai pertimbaganan "demi keutuhan" Partai Golkar dan menyongsong tahun politik 2018 (Pilkada Serentak II) dan 2019 (Pileg dan Pilpres). Jelas, situasi itu akan memperpanjang nafas masalah internal Partai Gokar. Kini, salah satu pekerjaan rumah bagi Airlangga sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar adalah "Revitalisasi pengurus DPP" yang dinilai sebagai solusi Golkar untuk menghadapi agenda tahun politik. Target Airlangga menghasilkan 110 kursi DPR Pusat dari Partai Golkar di Pileg 2019 memang menggiurkan.

Namun tidak muda bagi Golkar untuk meraih bahkan memenangkan Pemilu Legislatif 2019, sementara luka yang digali sejumlah anggota DPR dan Pejabat Kepala Daerah dari kader parpol tersebut membuat para masyarakat pemilihnya bakal enggan memberikan suaranya, dengan salah satu alasan adalah “KORUPSI”.