Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

Kamis, 28 Desember 2017

Secuil Flashback Peristiwa Politik Partai Golkar di Tahun 2017




BERITA - Sebentar lagi akhir dari Tahun 2017. Ada peristiwa yang menyeret Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya (Golkar) Setya Novanto lengser dari dua jabatan tersebut. Peristiwa ini menjadi puncak kegaduhan di ranah politik Indonesia. Berbagai polemik dan tanggapan terjadi. Puncak dari kegaduhan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) memaksa  Ketua DPR Setya Novanto harus berakhir mengerikan. Dikatakan mengerikan, karena upaya menarik ulur waktu pemeriksaan oleh petugas KPK itu pun diakhiri dengan kecelakaan mobil yang menimpa Setya Novanto akibat menabrak tiang listrik.
Padahal Setya Novanto yang sebelumnya tergolong lihai berkelit dengan seabrak alasan kesehatan, akhirnya resmi menghuni sel di rumah tahanan (Rutan) KPK di Kompleks Gedung Merah, Kawasan Kuningan Jakarta Selatan pada Sabtu (19/11/2017). Derita Novanto pun belum berakhir meski sudah ditahan KPK atas kasus e-KTP. Lagi-lagi Novanto harus menghadapi tuntutan para kadernya di DPR dan DPP Partai Golkar. Meskin dalam kondisi demikian, Setya Novanto masih dianggap kuat dalam berganining posisi sebagai pimpinan di DPR dan Ketua Umum Golkar. Dari balik jeruji besi KPK, pria yang akrab disapa Setnov itu mengeluarkan jurus sakti. Pelor itu bernama "Surat Penunjukan" kepada Fraksi Golkar dan pimpinan DPR pada awal Desember 2017. Rupanya Setnov mencoba menggunakan jurus sakti guna mengamankan kursi Ketua DPR. Dua peluru sakti atas nama surat penunjukan, salah satunya berisi penunjukan Novanto terhadap sebagai Ketua DPR kepada Aziz Syamsudin agar menggantikannya sebagai Ketua DPR pasa dirinya sedang menghadapi kasus hukum oleh e-KTP.
Lagi-lagi sangat disayangkan. Strategi tersebut tak berhasil. Hasil rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak sepakat jika Aziz ditunjuk menjadi pengganti Setya Novanto. Rapat Bamus lalu menyetujui persetujuan pengunduran diri Novanto. Hasil ini pun dibacakan lewat paripurna. Diketahui, dalam rapat Bamus itu disepakati Wakil Ketua DPR bidang Polkam Fadli Zon sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR menggantikan Setya Novanto. Namun, perlu dicatat, Plt tidak berlaku hingga 2019, tapi hanya sekedar mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Setya Novanto.
Sekarang giliran jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang disandang Novanto pun terpaksa terlepas dari mantan Ketua Fraksi Golkar DPR RI itu. Proses praperadilan yang gugur karena persidangan materi perkara dimulai dengan pembacaan dakwaan terhadap Novanto menjadi pemicunya. Mantan calon Ketum Golkar di Munaslub Bali 2016, Airlangga Hartarto pun ketiban rejeki. Dengan langkah seribu, Airlangga melakukan manuver politik pengalihan kepemimpinan Golkar dari Setnov ke dirinya. Mengawali negosisasi dengan bersama 31 DPD I Golkar menemui Jokowi di Istana Presiden Bogor. Dan gayungpun bersambut. Jalan menuju kursi Ketua Umum Partai Golkar kian mulus. Airlangga kembali mendapat dukungan 34 DPD I serta DPD II Golkar serta sesepu partai Golkar, untuk menggelar Rapimnas dan Munaslub di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, 18-20 Desember 2017.
Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla, Presiden RI ketiga Habibie, Presiden kelima, Megawati, mantan wapres Try Sutrisno serta negarawan lain hadir saat pembukaan Munaslub. Pada 20 Desember Airlangga Hartarto resmi dikukuhkan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2017-2019 menggantikan Setya Novanto. Terpilihnya Airlangga Hartarto disebut mendapat restu dari istana? Hal ini bisa mungkin, karena segala keputusan masih erat kaitannya dengan kedudukan Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Pemerintahan Jokowi-JK masih membutuhkan tenaga dan konsep pembangunan dunia industri di negeri ini. Faktor keberuntungan Airlangga juga bisa jadi muncul dari opini publik utamanya suara dukungan 34 DPD tingkat I terhadap mantan anggota DPR tersebut.
Airlangga bisa dibilang pawang macan tidur. Mengapa? Karena sejumlah kader Golkar sekelas Bambang Soesatyo (Bamsoet), Bu De Titiek Soeharto, Aziz Syamsuddin, dan beberapa kader senior yang sebelumnya garang, bersikukuh maju sebagai caketum DPP Golkar tiba-tiba melunak dan mempasrahkan niatnya dengan berbagai pertimbaganan "demi keutuhan" Partai Golkar dan menyongsong tahun politik 2018 (Pilkada Serentak II) dan 2019 (Pileg dan Pilpres). Jelas, situasi itu akan memperpanjang nafas masalah internal Partai Gokar. Kini, salah satu pekerjaan rumah bagi Airlangga sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar adalah "Revitalisasi pengurus DPP" yang dinilai sebagai solusi Golkar untuk menghadapi agenda tahun politik. Target Airlangga menghasilkan 110 kursi DPR Pusat dari Partai Golkar di Pileg 2019 memang menggiurkan.

Namun tidak muda bagi Golkar untuk meraih bahkan memenangkan Pemilu Legislatif 2019, sementara luka yang digali sejumlah anggota DPR dan Pejabat Kepala Daerah dari kader parpol tersebut membuat para masyarakat pemilihnya bakal enggan memberikan suaranya, dengan salah satu alasan adalah “KORUPSI”. 

Tidak ada komentar: